Tuesday 21 June 2016

Analisis Puisi “Rayu Santi-Santi” Karya WS Rendra Rayu Santi-Santi



Analisis Puisi “Rayu Santi-Santi” Karya WS Rendra
Rayu Santi-Santi
karya WS Rendra
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku
Bau anyir darah mengagu tidur malamku
Oh tikar tafakur
Oh bau sungai Tohor yang kotor
Bagaimana aku bisa membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran
Yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam
Aku menyerukan namamu,
Wahai! Para leluhur nusantara!
Oh Sanjaya,
Leluhur dari kebudayaan tanah
Oh Purnawarman,
Leluhur dari kebudayaan air
Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air,
tanah,
air
Oh Resi Kuturan,
Oh Resi Nerarte,
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera
Yang dijaga oleh dewan hukum adat
Bagaimana aku bisa mengerti bangsa phising dari bangsaku ini?
Oh Katjau Lalido,
Bintang cemerlang tanau ugi
Negarawan yang pintar dan bijaksana
Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang berbagai ragam dalam kehidupan
Ade, Wicara, Rabang, dan Wali
Ialah adat, peradilan, Yudis-prodensi, dan pemerincian perkara
Yang dijaman itu, di Eropa, belum ada
Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan
Oh lihatkan wajah-wajah berdarah
Dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan
Kekuasaan kekerasan kaki-tangan penguasa berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan
Dan para hakim yang tak mau dikontrol korupsinya,
Berakrobat jempalitan di atas meja hijau mereka
Oh Airlangga,
Raja tampan bagai Arjuna,
Dalam usia 17 tahun
Kau dorong rakyat di desa-desa adat untuk menyempurnakan keadilan hukum adat mereka yang berbeda-beda
Dan lalu kau perintahkan,
Agar setiap adat mempunyai 40 prajurit adat
Yang menjaga berlakunya hukum adat
Sehingga hukum adat menjadi adil, mandiri, dan terkawal
Baru kemudian sesudah itu,
Empu Baradah membantumu menciptakan hukum kerajaan
Yang mempersatukan cara-cara kerjasama antar hukum adat yang berbeda-beda
Sehingga penyair Tantular berseru, Bhineka Tunggal Ika!
Tetapi lihatlah di jaman ini,
Para elit politik
Hanya terlatih untuk jalan-jalan di pasar
Tersenyum, dan melambaikan tangan
Sok egaliter!
Tetapi egalitarianisme tidak otomatis berarti demokrasi
Dengan puisi ini aku bersaksi:
Bahwa hati nurani ini mesti dibakar
Tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bisa bersemi
Meski sudah ditebang putus di batang
Begitulah,
Fitrah manusia ciptaan Tuhan, yang maha Esa
Candi cheto 31 Desember 1999

A. Unsur Intrinsik
 
Struktur Fisik Puisi
  • Diksi
Diksi merupakan makna kiasan yang harus dipahami secara seksama dan menyeluruh, seperti: rayu merupakan kiasan dari suara hati penyair yaitu, pilu hati dan belas kasihan. Penyair sedang sakit hati dan merasa kasihan. Berarti rayu santi-santi adalah suara dari penyair yang sedang sakit hati:
Pada bait 1:
1)      “Ratap tangis menerpa pintu kalbuku” adalah gambaran hati dari seorang penyair yang sedang menangis di dalam hati sambil berucap di dalam batin.
2)      “Bau anyir darah mengagu tidur malamku” yang di maksud adalah mencium bau yang tidak sedap berbau amis yang menggangu tidur malamnya.
Pada bait 2
1)      “ Oh tikar tafakur”, gambaran dari seorang pernyair yang sedang berseru dan merenung di atas tikar memikirkan peristiwa yang pasti.
2)      “Oh bau sungai tohor yang kotor” , maksudnya adalah keadaan yang dirasakan oleh seorang penyair di ibaratkan dengan sungai tohor yang kotor.
Pada bait 3
1)      “Di atas atap kesepian nalar pikiran”, maksudnya yaitu di dalam ruangan menyendiri memikirkan keadaan yang dirasakan.
2)      “Yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam”, maksudnya pada malam hari memikirkan kegilisahan yang dirasakan.
3)      “Aku menyerukan namamu, Wahai! Para leluhur Nusantara!”, Maksudnya penyair  mengeluh dan berfikir sambil memanggil nenek moyang nusantara atau pemimpin
Pada bait 4
1)      Oh Sanjaya, Leluhur dari kebudayaan tanah
Oh Purnawarman, Leluhur dari kebudayaan air
Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air,
tanah, air
Oh Resi Kuturan,
Oh Resi Nerarte,
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera
Yang dijaga oleh dewan hukum adat
Bagaimana aku bisa mengerti bangsa phising dari bangsaku ini?
Oh Kajau Lalido,
Bintang cemerlang tanau Bugi
Negarawan yang pintar dan bijaksana
Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang berbagai ragam dalam kehidupan
Ade, Wicara, Rabang, dan Wali
Ialah adat, peradilan, Yurisprudensi, dan pemerincian perkara
Yang di jaman itu, di Eropa, belum ada
Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan
Maksud bait dia atas adalah perumpaan yang digambarkan oleh penyair dengan menggunakan kiasan seperti di atas yang memiliki makna sindiran tehadap penguasa. Penyair sudah mulai merasakan kegelisahan yang terjadi di dunia.
Pada bait 5
a.       Oh lihatlah wajah-wajah berdarah dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan
Kekuasaan kekerasan kaki tangan penguasa berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan
Dan para hakim yang tak mau dikontrol korupsinya,
Berakrobat jumpalitan di atas meja hijau mereka
Maksud bait di atas penyair sudah merasakan dan melihat secara langsung kejadian seperti pemerkosaaan , kejahatan tanpa di adili, korupsi, dan hakim yang tidak bisa menegakkan keadilan. Semua di kuasai oleh kekuasaan
Pada bait 6
a.       Oh Airlangga, Raja tampan bagai Arjuna,
Dalam usia 17 tahun kau dorong rakyat di desa-desa adat untuk menyempurnakan keadilan hukum adat mereka yang berbeda-beda
Dan lalu kau perintahkan, agar setiap adat mempunyai 40 prajurit adat
Yang menjaga berlakunya hukum adat, sehingga hukum adat menjadi adil, mandiri, dan terkawal
Baru kemudian sesudah itu,
Empu Baradah membantumu menciptakan hukum kerajaan
Yang mempersatukan cara-cara kerjasama antar hukum adat yang berbeda-beda
Sehingga penyair Tantular berseru, Bhinneka Tunggal Ika
Maksud dari bait di atas adalah perumpaan yang digambarkan oleh seorang penyair sebagi sindiran kepada seorang pemimpin yang muda agar bisa menjalankan hokum dengan benar dan adil. Dengan berlandaskan ilmu agama.Penyair juga menggambarkan mpu tanular sebagai pencetus bhineka tunggal ika yang harus di jadikan landasan dalam hokum.
Pada bait 7
1)      Tetapi lihatlah di jaman ini,
Para elit politik hanya terlatih untuk jalan-jalan di pasar
Tersenyum dan melambaikan tangan, sok egaliter!
Tetapi egalitarianisme tidak otomatis berarti demokrasi
Maksud dari bait diatas penyair merasakan sakit hati din zaman ini. Seorang pemimpin hanya berlatih jalan di pasar sambil tersenyum dan melambaikan tangan supaya dipandang sama derajatnya antara pemimpin dan rakyat. Tetapi dengan melakukan hal seperti itu belum tentu pemimpin yang demokrasi.
Pada bait 8
a.       Dengan puisi ini aku bersaksi;
Bahwa hati nurani ini, mesti dibakar tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bisa bersemi, meski sudah ditebang putus di batang
Begitulah, fitrah manusia ciptaan Tuhan, yang maha Esa
Maksud dari bait di atas penyair membuat puisi ini adalah sebagai saksi bahwa yang bersalah harus di bersihkan supaya menjadi bersih hatinya. Karena kalau tidak di bersihkan, rasa bersalah itu akan terus tumbuh dan memuat kesalahan lagi. Seperti seorang bayi, orang yang bersalah harus dibersihkan dari dosa-dosanya sehingga bisa menjadi suci lagi seperti awal diciptakannya manusia oleh allah. Awal mula di mulai dari kesucian.
  • Citraan
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca melalui ungkapan tidak langsung.
1.Citraan visual (penglihatan) terlihat pada bait kelima
Oh lihatlah wajah-wajah berdarah dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan
Kekuasaan kekerasan kaki tangan penguasa berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan
Dan para hakim yang tak mau dikontrol korupsinya,
Berakrobat jumpalitan di atas meja hijau mereka
Pada bait ketujuh
Tetapi lihatlah di jaman ini,
Para elit politik hanya terlatih untuk jalan-jalan di pasar
Tersenyum dan melambaikan tangan, sok egaliter!
Tetapi egalitarianisme tidak otomatis berarti demokrasi
2. Citraan indera (pencium) terlihat pada bait pertama baris kedua :Bau anyir darah mengagu tidur malamku yang di maksud adalah mencium bau yang tidak sedap berbau amis yang menggangu tidur malamnya
Pada bait kedua baris kedua oh bau sungai tohor yang kotor , maksudnya adalah keadaan yang dirasakan oleh seorang penyair di ibaratkan dengan sungai tohor yang kotor
3. Citraan indera (pendengaran) terlihat pada bait keenam baris ketujuh Empu Baradah membantumu menciptakan hukum kerajaan.

  • Kata-kata konkret
Pada puisi ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata konkret yang dapat membangkitkan citraan seperti penglihatan, penciuman, pendengaran.Kata-kata konkret tersebut sangat jelas menunjukan sikap tindakan baik dari penyair maupun dari pembaca.Kata-kata konkret tersebut bertujuan untuk menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat agar pembaca dapat merasakan keadaan yang dirasakan penyair.
  • Gaya Bahasa (Majas)
Dalam puisi “Rayu Santi-Santi” gaya bahasa (majas) yang muncul yaitu:
  1. Pada bait kedua baris kedua, yaitu “.oh bau sungai tohor yang kotor, merupakan majas metafora yang bersifat membandingkan sesuatu secara langsung. Bau yaitu aroma yang nikmat dan tidak nikmat sedangkan sungai tohor yaitu sungai yang panjang sebagai penyebrangan kapal nelayan untuk menuju kelaut. Jaid penayair membandingkan bau dengan sungai tohor sebagai gaya bahasa.
  2. Majas repetisi pada bait satu sampai bait lima dan terketak di baris pertama, yaitu terjadi pengulangan kata, “oh sanjaya, oh purnawarman, Oh Resi Kuturan, Oh Resi Nerarte, Oh Kajau Lalido, oh airlangga ”, menggambarkan bahwa si mengeluhkan kegelisahannya dengan menggunakan kata Oh.
  3. Pada baris ketuga baris kedua yaitu, “Yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam maksudnya pada malam hari” merupakan bahasa kiasan personifikasi yang menggambarkan benda mati dapat digambarkan seolah-olah hidup.
  4. Dalam bait ketiga baris pertama, “di atas atap kesepian nalar pikiran” adalah personifikasi karena di dalam ruangan dia menyendiri dan sambil berfikir.
  5. Majas Anatonomasia pada bait keenam baris pertama yaitu, “Oh Airlangga, Raja tampan bagai Arjuna,” yang menggunakan ciri fisik seseorang sebagai penggantinya.


·         Rima dan ritma
Puisi “rayu santi-santi” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vokal /a/u/.Asonansi vokal /a/u/ terdapat pada baris puisi yaitu pada bait pertama baris 1dan 2. Pada bait kelima baris 1 dan 2, misalnya:
Asonansi vokal (u):
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku
Bau anyir darah mengagu tidur malamku
Asonansi vocal (a):
Oh lihatlah wajah-wajah berdarah dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Dari asonansi vokal diatas dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tidak tepat dan tidak beraturan yakni irama vokal  u u a a.
Struktur Batin Puisi
  • Tema
Tema dalam puisi  “Rayu Santi-santi” adalah “Keadilan”. Dalam puisi Rayu Santi-Santi menceritakan kerinduan tegaknya hukum keadilan.Banyak kejahatan-kejahatan yang tidak di adili dengan tegas.Kejahatan seolah-olah seperti berak yang habis keluar lalu disiram dan hilang begitu saja.Pada kala itu yang dirasakan seorang penyair hukum tidak bisa berdiri dengan tegak.Banyak kejahatan yang terjadi pada saat itu seperti, pemerkosaan, korupsi, hakim tidak bisa menegakkan hukum dengan benar dan yang sangat miris hakimnya juga ikutan korupsi pada saat itu.Padahal aturan hukum sudah di buat sesuai dengan keputusan bersama tetapi hukum tidak bisa berdiri tegak pada saat itu.Semua bisa di beli dan di injak-injak oleh kekuasaan. Para pemimpin politik hanya bisa melambaikan tangan bersorak sorak sambil tersenyum berjalan di pasar agar di pandang oleh msayarakat memiliki kedudukan yang sama antara pemimpin dan rakyat. Tapi kenyataannya itu hanyalah taktik politik untuk mendaptakan kekuasaan.Tidak bisa menegakkan keadilan dengan benar semua hanyalah sandiwara.Para hakimnya juga ikut jumpalitan di meja hijau berdebat masalah hukum yang tak kunjung selesai.

·         Perasaan
Perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa kecewa dan sakit hati karena hukum tidak bisa di tegakkan dengan benar.Para pemimpin sudah di butakan oleh kekuasaan.Kejahatan tidak bisa di adili seolah-olah kejahatan bisa tertawa dengan lega.
·         Nada
Nada yang ditunjukan dalam puisi “Rayu Santi-Santi” ini adalah kekecewaan dan sakit hati.Kekecewaan dan rasa sakit hati ini muncukl karena hukum tidak bisa berdiri tegak dengan benar, hukum hanya sebatas perjanjian tertulis saja tidak bisa di adili dengan benar.Kejahatan merajalela dan tidak di adili oleh para hakim.Bahakan hakimnya juga ikut berbuta kejahatan seperti korupsi.
Unsur nada kekecewaan
Tetapi lihatlah di jaman ini,
Para elit politik hanya terlatih untuk jalan-jalan di pasar
Tersenyum dan melambaikan tangan, sok egaliter!
Tetapi egalitarianisme tidak otomatis berarti demokrasi
Unsur nada sakit hati
Oh lihatlah wajah-wajah berdarah dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan
Kekuasaan kekerasan kaki tangan penguasa berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan
Dan para hakim yang tak mau dikontrol korupsinya,
Berakrobat jumpalitan di atas meja hijau mereka


  • Amanat
Dalam puisi ini amanat yang disampaikan oleh penyair adalah bahwa jika kita mempunyai kesalahan kepada orang  lain kita harus meminta maaf. Hati yang bersalah harus di bersihkan terlebih dahulu apabila punya salah karena jika tidak dibersihkan kesalahan itu akan terus terulang,
B. Unsur Ekstrinsik
Puisi “Rayu Santi-Santi” adalah puisi krya W.S rendra.Karya-karyanya iedntik dengan kritik sosial, seperti yang di tulis pada puisi yang berjudul Rayu Santi-Santi, yang menceritkan tentang kritik sosial yang dirasakan oleh penyair.Dalam puisin ini penyair mencoba mengungkapkan kegelisahan hatinya yang dia rasakan. Seperti puisi-puisi W.S Renrda yang lain, Pada puisi Rayu Sant-Santi ini  W.S rendra memilih bersembunyi memalui metafora dan kiasan-kiasan. Dalam puisi ini W.S Rendra menggambarkan pintu kalbuku “Aku” sebagai dirinya sendiri.Begitu indah dan penuh pergerakan untuk membangkitkan semangat para pemuda untuk menegakkan keadilan.W.S Rendra mengilustrasikan beberapa dewa dan tempat sebagai luapan kegelisahan hatinya yang dia rasakan.Kata kata yang di ilustrasikan penuh dengan teka-teki namun di dalam kata-kata itu banyak makna yang tersirat dan mengandung arti yang begitu mendalam bagi pembacanya.Menggunakan pengilustrasian kata-kata kiasan dan sindiran pada awal bait, namun setelah sampai isi, kata-kata yang di hadirkan adalah kata-kata secara spontanitas dan langsung menjurus langsung pda pokok permasalahan yang dirasakan oleh penyair.Seperti puisi W.S Rendra yang lainnya, ciri khas dari puisi W.S Rendra banyak mengkritik tentang sosial.Selalu menghadirkan semangat optimism untuk mengagkkan suatu hukum dan keadilan di dunia ini.Karena kita hidup berlandaskan pada agama dan hukum.W.S Rendra seakan selalu berpesan pada pembacanya untuk tidak diam apabila ada sesuatu yang janggal dan salah dalam menjalani kehidupan ini.Karena pada dasarnya yang salah harus di salahkan dan yang benar harus di benarkan.Seperti itu pesan yang selalu WS Rendra sampaikan dalam beberapa karyanya.
C. Makna Puisi “Rayu Santi-Santi”
puisi “Rayu Santi-Santi”, Karya W.S Rendra adalah puisi tentang kerinduan tegaknya hukum dan keadilan. Dari judul puisi “Rayu Santi-Santi itu adalah perumapaan dari seorang penyair.Rayu memiliki makna pilu hati dan belas kasihan.Penyair mencoba mengungkapkan kegelisahan hatinya dengan keadaan yang dia lihat dan yang dia rasakan pada saat itu.Banyak kejahatan-kejahatan yang tidak di adili dengan tegas.Kejahatan seolah-olah seperti berak yang habis keluar lalu disiram dan hilang begitu saja.Pada kala itu yang dirasakan seorang penyair hukum tidak bisa berdiri dengan tegak.Banyak kejahatan yang terjadi pada saat itu seperti, pemerkosaan, korupsi, hakim tidak bisa menegakkan hukum dengan benar dan yang sangat miris hakimnya juga ikutan korupsi pada saat itu.Padahal aturan hukum sudah di buat sesuai dengan keputusan bersama tetapi hukum tidak bisa berdiri tegak pada saat itu.Semua bisa di beli dan di injak-injak oleh kekuasaan. Para pepmimpin politik hanya bisa melambaikan tangan bersorak sorak sambil tersenyum berjalan di pasar agar di pandang oleh msayarakat memiliki kedudukan yang sama antara pemimpin dan rakyat. Tapi kenyataannya itu hanyalah taktik politik untuk mendaptakan kekuasaan.Tidak bisa menegakkan keadilan dengan benar semua hanyalah sandiwara.Para hakimnya juga ikut jumpalitan di meja hijau berdebat masalah hukum yang tak kunjung selesai. Bhineka tunggal ika sudah tidak lagi di fikirkan sebagai semboyan dan moto dari bangsa Indonesia, yang mempunyai makna  persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Semua di hancurkan oleh kekuasaan seolah-olah kekuasaan yang menjadi  peradaban dunia. Seperti itu kegelisahan yang dirasakan oleh W.S Rendra.Sehingga dari kegelisahan itu tercipta sebuah puisi “Rayu Santi-Santi”.Puisi ini ditulis di candi cheto pada tanggal 31 Desember 1999.

No comments:

Post a Comment